Minggu, 31 Januari 2016

Modul Teknik Terowonga

3. DASAR TEORI


3.1. Umum

Pada tambang bawah tanah, permasalahan keamanan lubang bukaan dari ambrukan baik dari atap atau dinding adalah prioritas utama. Untuk itu diperlukan rancangan stabilitas yang akurat dalam menunjang keselamatan pekerja dan peralatan tambang. Secara ringkas berikut ini akan dijelaskan tekanan yang terjadi pada batuan, analisis tegangan – regangan, kriteria runtuhnya batuan, distribusi tegangan disekitar lubang bukaan serta kontrol terhadap tegangan yang timbul pada batuan. Kesemuanya hal diatas berhubungan erat dengan kondisi stabilitas lubang bukaan baik untuk heading maupun untuk kegiatan long wall.

3.1.1 Tekanan batuan

Tekanan batuan dikategorikan kedalam beban statik dan beban dinamik. beban statik atau biasa disebut dengan beban mati adalah beban berat batuan yang terlepas dari batuan induk sehingga membebani batuan dibawahnya atau membebani sistem penyangga (jika digunakan). Tekanan yang terjadi karena runtuhnya dinding lubang bukaan juga termasuk pada tekanan statik.
Sedangkan beban dinamik merupakan beban akibat pergerakan batuan misalnya getaran oleh peledakan atau peralatan tambang. Keadaan ini terlihat jelas pada atap yang menurun serta lantai yang mengalami floor heave.

Faktor – faktor penyebab tekanan batuan adalah :
1.      Berat batuan itu sendiri, merupakan perkalian bobot isi batuan dengan kedalaman letaknya dari permukaan bumi.
2.      Tegangan pada batuan dibawah permukaan, hal ini terjadi apabila disekitar batuan terdapat gejala geologi seperti perlipatan dan patahan. Dengan dibukanya lubang bukaan maka akan terjadi pelepasan energi secara tiba – tiba.
3.      Absorbsi air. Batuan yang sifatnya menyerap air akan lebih mudah terintegrasi kekuatannya karena cenderung mengalami tingkat pelapukan dan swelling yang tinggi.Secara umum batuan  mempunyai kuat tekan yang tinggi dan berbanding terbalik dengan kuat tariknya. Pada lubang bukaan, kuat tarik terdistribusi dibagian atap dan lantai sedangkan kuat tekan  di dinding terowongan. Berikut ini diperlihatkan beberapa kekuatan batuan pada kondisi batuan kering.

Tabel 3.1 Contoh kekuatan beberapa batuan(3)
Jenis batuan
Kuat tekan (σc)
kg/cm2
Kuat tarik (τ)
kg/cm2
Granit
1.722
53
Andesit
1.093
63
Batu pasir
700 – 1.280
27
Batuan shale pasiran
1.100
35
batuan shale
1.000
35
Batubara
340
17


3.1.2  Analisis tegangan – regangan

Tegangan (σ) merupakan gaya yang bekerja (P) pada suatu media per satuan luas (A)(3). Dalam hal ini gaya yang bekerja tersebar merata dirumuskan:
σ  =    
 Regangan (ε)  merupakan pertambahan  panjang (ΔL) dari batang prisma dibagi dengan panjang mula - mula  (L) apabila dikenai gaya, dirumuskan :
ε  = 
Secara umum tegangan tergantung pada :
-          tegangan dimana dia dikenakan
-          orientasi dari luas permukaan diman dia dikenakan
-           sistem dari gayagaya luar yang dikenakan pada sebuah benda.



             Kriteria failure batuan

Kriteria failure batuan ditentukan dari hasil percobaan dengan memasukkan parameter – parameter sifat fisik dan mekanik batuan. Pada tegangan bidang, dua tegangan dasar saja yang berpengaruh dan satu tegangan lain sama dengan nol.Demikian juga pada regangan bidang, intermediate principle stress 2) merupakan fungsi dari tegangan utama tadi ( σ1 dan σ3).

Beberapa teori yang membahas runtuhnya batuan:
-          Teori Mohr, menyatakan bahwa kuat tarik tidak sama dengan kuat tekan dan untuk suatu kondisi tegangan σ1 > σ2 > σ3, σ2 tidak mempengaruhi failure batuan.
-          Kriteria Mohr – Coulomb, menyatakan failure batuan pada sebuah lingkaran Mhor(3) dengan persamaan τ = C + μσ dengan:
·         τ adalah tegangan geser
·         C adalah kohesi
·          μ adalah koefisien geser batuan = tg Ø
·          σ adalah tegangan normal

-          Kriteria tegangan maksimum, menyatakan failure batuan diakibatkan oleh tarikan jika padanya dikenakan tegangan utama (σ3) yang besarnya sama dengan kuat tarik uniaksial (σt).
-          Kriteria tegangan geser maksimum, menyatakan bahwa batuan mengalami failure jika tegangan geser maksimim sama dengan kuat geser batuan.

3.1.4 Distribusi tegangan disekitar terowongan.

Sebelum dibuat terowongan terjadi tiga macam tegangan mula – mula yaitu :
-          tegangan gravitasi, terjadi karena berat over burden diatasnya.
-          tegangan tektonik, terjadi karena adanyan pergeseran pada kulit bumi
-          tegangan sisa berupa gempa bumi.
Tegangan tektonik dan tegangan sisa dianggap sama dengan nol karena pengaruhnya sangat kecil, sehingga tegangan mula – mula sama dengan tegangan gravitasi dirumuskan(3) :

σo  =  γ H     
keterangan,
σo   =  tegangan mula – mula
γ    =  density batuan
H   =  kedalaman dari   permukaan 

Sesudah terowongan dibuat, distribusi terowongan dipengaruhi oleh geometri lubang bukaan, keadaan batuan,perilaku batuan dan kondisi tegangan.

3.1.5 Pengontrolan terhadap tegangan

Monitoring tegangan pada tambang bawah tanah adalah masalah yang sama pentingnya dengan pemantauan hal–hal lain seperti ventilasi atau drainase. Dalam monitoring tegangan yang terjadi dalam  lubang bukaan ada tiga pertimbangan yang perlu diperhatikan, yaitu:
-          pertimbangan besar geometri lubang bukaan
-          pertimbangan besar kecilnya pilar, serta
-          pertimbangan terhadap sistem penyangga yang akan digunakan.

Pada material elastik batubara, adanya konsentrasi tegangan yang sangat besar akan terjadi pada sisi bagian luar dari lubang bukaan. Jika tegangan ini terjadi pada pilar, maka pilar akan mengalami rupture, berbeda pada bagian elastik batubara memiliki sifat kekuatan yang lebih rendah.

      Klasifikasi massa batuan

Dalam ilmu rekayasa batuan stabilitas suatu massa batuan dapat ditinjau terhadap tiga metoda rancangan yaitu :

1.      Metoda rancangan analitik yang pada prinsipnya memberikan harga stabilitas lubang bukaan dari hasil pengujian massa batuan di laboratorium atau secara in – situ. Pada metode ini kondisi massa batuan didalam lubang bukaan digambarkan kedalam permodelan numerik, permodelan fisik dan simulasi analog.

2.      Metode observasi yaitu rancangan terowongan berdasarkan pemantauan lubang bukaan terhadap perpindahan massa batuan selama penggalian atau untuk jangka waktu lama. Peralatan yang digunakan yaitu Convergenmeter dan Extensometer.

3.      Metode empiris yaitu pengujian stabilitas lubang bukaan berdasarkan analisa statistika penerowongan yang pernah dilakukan. Hasil penelitian memberikan nilai klas massa batuan sesuai standarisasi metode yang digunakan.

Untuk kegiatan rancangan lubang bukaan, ketiga metoda diatas sebaiknya dikombinasikan dengan tepat dan tidak terfokus terhadap salah satu metode. Dengan demikian hasil yang diperoleh lebih akurat dan layak untuk kontruksi lubang bukaan. 

Tujuan klasifikasi massa batuan adalah
-          Mengelompokkan jenis massa batuan berdasarkan kesamaan perilakunya
-          Sebagai dasar untuk dapat memahami karakteristik tiap-tiap klas
-          Memberikan data kuantitatif untuk rancangan rekayasa batuan
-          Sebagai dasar yang diterima secara luas untuk komunikasi diantara para perancang dan ahli rekayasa batuan.

Beberapa metode empiris yang paling populer diterapkan di dunia pertambangan adalah:
-          Pembebanan batuan Terzaghi (1946)
-          Stand –up time (Laufer, 1958)
-          RQD (Deere, 1967)
-          RSR (Wickham, 1972)
-          RMR (Bieniawski, 1973)
-          Sistem Q (Barton, 1974)

Pada tahun- tahun terakhir ini metode yang paling umum digunakan adalah metode RMR dan sistem Q. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu :
1.      Hasil klasifikasi yang lebih akurat karena pendataan klasifikasi berdasarkan beberapa parameter yang benar-benar mewakili kondisi geologi bawah permukaan
2.      Pemakaiaannya lebih sederhana
3.      Rekomendasi penyanggaan yang diberikan relatif lebih praktis karena cenderung menggunakan Rockbolt dan shootcrete.

                        Sistem RMR

Metoda RMR (Rock mass rating) dikembangkan Bieniawski tahun 1973 di Afrika Selatan dengan memperhitungkan enam parameter. Dari enam parameter yang digunakan empat diantaranya mewakili struktur geologi yaitu:
1.      Rock quality designation (RQD)
2.      Spasi diskontinuitas (js)
3.      Kondisi diskontinuitas (jc)
4.      Orientasi diskontinuitas (jo).
Sedangkan dua yang lain mewakili sifat mekanik yaitu :
5.      Kuat tekan uniaksial (σc)
6.      Kondisi air tanah (Gw)

Rumusan sistem RMR(8) Adalah :

RMR                  =  σc + RQD + js + Gw +jc
Adjusted RMR =  RMR + jo

Setiap parameter mempunyai rentang bobot tertentu (lihat tabel 2.1) yang besarnya ditentukan secara interpolasi atau secara grafis. Menurut sistem RMR ini, massa batuan dibagi menjadi lima klas seperti pada tabel 2.2. selanjutnya tiap klas mempunyai estimasi stand-up time dan rekomendasi penyanggaan masing-masing.
3.2.1.1 Rock quality design ( RQD)

Rock quality designation (RQD) didefenisikan sebagai persentase perolehan core yang lebih besar dari 10 cm dibagi panjang lubang bor(2), dirumuskan sebagai berikut:  
RQD   =     * 100%

RQD   =    panjang core ≥ 10 cm

Untuk menentukan RQD, ISRM merekomendasikan ukuran inti paling kecil berdiameter NX (54,7 mm) yang dibor dengan menggunakan double tube core barrels.
Hubungan antara indeks RQD dan kualitas teknik dari batuan adalah sebagai berikut (Deere, 1968).

      Tabel 3.2 Hubungan indeks RQD dengan kualitas massa batuan(8)
RQD (%)

Kualitas batuan
‹ 25
Sangat jelek
25 – 50
Jelek
50 – 75
Sedang
75 – 90
Baik
90 - 100
Sangat baik

Jika inti tidak ada, Palmstrom (1975) mengusulkan harga RQD dengan memperkirakan jumlah kekar – kekar per satuan volume(4),
dirumuskan sebagai berikut:

RQD =   115 – 3,3 jv
Jv      =    jumlah total kekar per m3.

Walaupun RQD adalah indeks yang sederhana dan murah, tetapi tidak cukup melakukan deskripsi yang baik dari massa batuan karena tidak memperhatikan orientasi kekar, keketatan dan material pengisi.

xxxx   `
      
                       ROD = (36 + 17 + 20 + 43)/ 200
                                 = 59%

        Gambar 3.1 Prosedur penentuan RQD dari hasil coring (2)    
           
3.2.1.2.Spasi diskontinuitas

Bidang diskontinuitas adalah semua jenis bidang-bidang yang mungkin berupa kekar,sesar, bidang perlapisan dan bidang perlipatan atau bidang-bidang lain yang tidak menerus dalam massa batuan.

Suatu rekahan atau kekar yang parallel disebut set, dan set-set yang saling berpotongan disebut joint set system. Kemudian jarak tegak lurus antara dua kekar yang berurutan sepanjang garis pengukuran  (scan line) disebut dengan jarak bidang kekar. Untuk dapat mempermudah pengertian istilah-istilah tersebut dan cara pengukuran jarak diskontinuitas dapat dilihat pada gambar 3.2 yang menunjukkan idealisasi pengukuran.


 







 
 


    
  
   Gambar 3.2 Penentuan jarak kekar dilapangan(8)
 


Jarak kekar secara normal dimana jarak masing-masing kekar ditunjukkan dengan jarak d12, d23, d34 dan seterusnya yang diukur pada scan line AB.
Sedangkan arah strike/dip yang dijumpai dilapangan tidah semudah yang ditunjukkan oleh gambar 3.2 (a), sehingga scan line AB tidak mungkin untuk dibuat tegak lurus dengan bidang-bidang kekar, dimana dilakukan pengukuran dan pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang (gambar2.2b), kemudian dihitung jarak kekar dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
d i+(i+1)     =    J i+(i+1) Cos
Cos  θ     =    Cos  (άn - ά s) Cos βn Cos βs + Sin βn Sin βs

Keterangan:    
άs  =    arah dip scan
άd    =    arah dip kekar
βs    =    dip scan line
βd   =    dip kekar
βn   =    90 – βd
άd  ≤    180o,  maka άn =          άd + 180o
άd   >    180o, maka άd  =          άd  - 180o

Panjang minimum scan line  untuk pengukuran jarak diskontinuitas adalah sekitar 50 kali jarak rata-rata diskontinuitas yang diukur. Sedangkan ISRM (1981) panjang scan line cukup 10 kali saja tergantung kepada tujuan pengukuran. Jarak diskontinuitas menurut attewell(1983) dan Deere(1968) dapat dilihat pada tabel 3.2 dan tabel 3.3.
Jarak diskontonuitas yang rapat dapat terdiri dari tiga atau lebih set yang saling berpotongan membuat batuan menjadi blok-blok kecil, sehingga memperlemah blok-blok batuan. Kondisi ini menjadi lebih buruk jika kekar mempunyai kuat geser yang rendah maka blok batuan tersebut dapat jatuh. 
     
    Tabel 3.3 . Klasifikasi jarak kekar menurut Attewell (1993)(8)
     Deskripsi
Struktur bidang diskontinuitas
Jarak (mm)
Sangat lebar
Perlapisan sangat tebal
> 2000
Lebar dan luas
Perlapisan tebal
600 – 2000
Lebar sedang
Perlapisan sedang
200 – 600
Dekat
Perlapisan tipis
60 – 200
Sangat dekat
Perlapisan sangat tipis
Sangat berlapis
Perlapisan tipis (metamorf dan beku)
Berfolias,belahan aliran perlapisan
20 – 60
6 – 20
6 – 20
6 – 20
Sangat dekat sekali
Perlapisan tipis (sediment)
sangat berfoliasi, belahan aliran
perlapisan, dll (batuan metamorf dan beku)
< 20
< 6
< 6
  
  Tabel 3.4. Klasifikasi jarak kekar menurut Deere (1968)(8)
Deskripsi
Strruktur bidang diskontinuitas
Jarak (mm)
Sangat lebar
padat
> 3000
Lebar
Massif
1000 – 3000
Cukup dekat
Blooky/terpecah
300 – 1000
Dekat
Terpecah
50 – 300
Sangat rapat
Hancur dan tersebar
< 50



3.2.1.3. Kondisi bidang diskontinuitas

Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughnes), regangan, pelapukan batuan samping dan material pengisi.

Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk kekar yang mengalami pergeseran atau terisi oleh material lain.kekasaran yang saling mengunci dan saling menempel akan mempertinggi kuat geser. Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan dengan meraba permukaan kekar.
Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan deskripsinya diberikan oleh ISRM (1981). Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 – 10 m dengan skala vertikal dan horizontal sama.
    
Regangan adalah jarak tegak lurus yang memisahkan batuan dinding dari kekar yang terbuka. Kekar yang terisi oleh material lain dapat digolongkan sebagai sepasi jika material pengisinya telah tercuci secara lokal.separasi dapat dikatakan kecil jika kekasaran dinding kekar cenderung menjadi terkunci dan material pengisi kekar memberikan dukungan terhadap kuat geser.

Pelapukan batuan samping disisi bidang diskontinuitas dinyatakan dalam derajat pelapukan sebagai berikut:
-                tidak lapuk; tidak ada tanda-tanda pelapukan, batuannya segar dan kristalnya nampak jelas, waaupun terdapat beberapa pada kekar ada sedikit pelapukan.
-                Sedikit terlapukkan; pelapukan terdapat pada kekear terbuka, tetapi pada batuan utuh terjadi hanya sedikit saja, dan perubahan warna pada kekar dapat mencapai jarak 10mm.
-                Terlapukkan sedang; perubahan warna mencapai bagian yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas (kecuali pada batuan sedimen dengan penyemenan jelek)
-                Sangat terlapukkan; pelapukan mencapai semua bagian massa batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material lain kecuali kwarsa sudah berubah warna, batuan mudah pecah (digali dengan palu geologi).
-                Terlapukkan sempurna; massa batuan secara keseluruhan sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta dalam keadaan rapuh, hanya terlihat bekas struktur saja, kenampakan luar sudah seperti tanah.

Material pengisi antara lain kalsit, lempung, lanau, kwarsa dan lain sebagainya. Jika terisi oleh material pengisi maka harus ditentukan tebal, jenis dan kemenerusannya. Material pengisi sangat mempengaruhi kekuatan batuan, karena mampu sebagai perekat dan sebagai pemisah antar blok.

3.2.1.4. Orientasi bidang diskontinuitas

Orientasi bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan kemiringan. Kutup dicatat dengan mengacu pada kutup utara magnet bumi sedangkan kemiringan adalah sudut yang dibentuk antara bidang horizontal dengan bidang kekar searah dengan bidang kemiringan.

Orientasi bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan dengan istilah menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang menguntungkan dalam terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap sumbu aksis terowongan. Sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap arah sumbu aksis terowongan maka kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.

3.2.1.5   Kuat tekan uniaksial batuan

Kuat tekan uni aksial batuan diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan pengujian uniaxial compressive strength (UCS). Pengujian ini menggunakan mesin tekan untuk memecahkan batuan yang berbentuk silinder, balok, atau prisma dari satu arah dengan luas perconto A dan panjang perconto l. Pada pengujian ini gaya (kN) dan perpindahan (mm) menurut sumbu aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva tegangan regangan dengan perolehan data sifat mekanik batuan sepertikuat tekan batuan(σc), modulus elastisitas (E) dan poisson ratio (υ).

Jika data kuat tekan hasil iji UCS tidak diperoleh, maka dapat menggunakan kuat tekan batuan dengan uji point load strength indeks dan jika kedua pengujian diatas tidak ada maka dapat dilakukan pendekatan standard indeks manual sebagai dasar uji dilapangan.

      Tabel 3.5. Manual Indeks Uniaksial Compressive Strenght (UCS)(2)
Deskripsi
Uji lapangan
UCS
(MPa)
Indeks point load
(MPa)
Sangat lemah
Bisa ditekan dengan palu
0,25 – 1,0
-
Lemah
Hancur bila dipukul dengan palu/dapat digores dengan pisau
5 – 25
-
Sedang
Tidak dapat digores dengan pisau
25 – 50
<1
Kuat
Dapat hancur dengan memukul lebih dari satu kali
50 – 100
2 – 4
Sangat kuat
Dapat hancur dengan memukul berkali-kali
100 - 200
4 – 10
Sangat kuat sekali
Sulit pecah dipukul dengan palu
> 250
> 10


3.2.1.6. Kondisi air tanah

Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah dalam liter per menit sepanjang 10 m penggalian. Tetapi dilapangan dipakai cara yang relatif mudah yaitu dengan meraba permukaan batuan  lalu kondisi air tanahnya dinyatakan dengan kondisi kering, lembab, basah, menetes dan mengalir.


3.2.1.7. Prosedur klasifikasi sistem RMR

Ada enam langkah dalam menggunakan sistem RMR yaitu:
1.            Menghitung bobot (rating) total dalam tabel 3.6. sesuai dengan kondisi lapangan sebenarnya, yakni dengan menjumlahkan semua rating dari UCS,RQD, jarak diskontinuitas, kondisi diskontinuitas, dan kondisi air tanah.
2.            Menilai kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus/kemiringan bidang diskontinuitas seperti yang ditunjukkan tabel 3.7.
3.            Setelah menentukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang-bidang diskontinuitas, maka ratingnya ditetapkan berdasarkan tabel 3.8. langkah ini disebut juga sebagai penyesuaian rating.
4.            Menjumlahkan rating dari langkah pertama dengan rating yang didapatkan dari langkah ketiga, sehingga diperoleh total rating sesudah penyesuaian. Dari rating ini diperoleh kelas massa batuan berdasarkan tabel 3.9.
5.            Setelah kelas massa batuan diperoleh maka dapat diperoleh arti kelas massa batuan dengan memperoleh nilai stan-up time dari masaa batuan tersebut dengan span tertentu serta kohesi dan sudut geser dalamnya seperti yang diperlihatkan tabel 3.10
6.            Berdasarkan klasifikasi geo-mekanika ini, Bieniewski memberikan petunjuk penggalian dan penyangga terowongan (tabel  3.10). petunjuk ini hanya berlaku dibatuan dengan lebar 10m, berbentuk tapal kuda, tegangan vertikal lebih kecil dari 25 MPa, serta metode penggalian dengan pemboran dan peledakan.















  Tabel 3.6. Parameter klasifikasi dan pembobotan(8)
Parameter
Selang nilai
1
Kuat tekan batuan utuh

PLI
(MPa)

> 10

4 - 10

2 - 4

1 - 2
Untuk yang kecil dipakai UCS
UCS
(MPa)

> 250

100-200

50-100

25 - 50

5 - 25

1 -5

< 1
pembobotan
15
12
7
4
2
1
0

2

RQD (%)

90 - 100

75 - 90

50 - 75

25 - 50

25
Pembobotan
20
17
13
8
3

3
Jarak diskontinuitas

> 2m

0,6 – 2m

200-600mm

60-200mm

< 60mm
Pembobotan
20
15
10
8
5



4



Kondisi
diskontinuitas
Permukaan sangat kasar, tidak menerus, tidak renggang,tidak lapuk

Agak kasar, separasi < 1mm, agak lapuk


Agak kasar,separasi < 1 mm, sangat lapuk

slikensided/gouge < 5mm, atau separasi 1 – 5 mm, menerus



Gouge lunak > 5 mm, atau separasi > 5 mm, menerus
Pembobotan
30
25
20
10
0




5

A
i
r

t
a
n
a
h

Aliran/10m panjang tunnel (L/min)

tidak ada

< 10

10 - 25

25 - 125

> 125
tekanan pori dibagi tegangan utama

0

< 0,1

0,1 – 0,2

0,2 – 0,5

> 0,25
keadaan umum

Kering

lembab

basah

menetes

mengalir
Pembobotan
15
10
7
4
0

  Tabel 3.7. Efek jurus/kemiringan diskontinuitas di dalam terowongan(8)

Arah jurus tegak lurus sumbu terowongan

Arah jurus sejajar sumbu terowongan

Mengabaikan jurus
Maju searah kemiringan
Maju melawan kemiringan
dip
45o-90o
dip
20o-45o
dip
45o-900
dip
20o-45o
dip
45o-90o
dip
20o-45o
dip
0o-20o
sangat menguntungkan

menguntungkan

sedang
tidak menguntungkan
sangat tidak menguntungkan

sedang

sedang
 
  Tabel 3.8. Penyesuaian pembobotan orientasi bidang diskontinuitas(8)
Jurus dan kemiringan orientasi diskontinuitas
Sangat menguntungkan

Menguntungkan

Sedang
Tidak menguntungkan
sangat tidak menguntungkan



Pembobotan



terowongan

0

-2

-5

-10

-12

pondasi


0

-2

-7

-15

-25

lereng

0

-5
-
25

-50

-60


   Tabel 3.9. Kelas massa batuan yang ditentukan dari pembobotan total(8)

Pembobotan

100 - 81

80 - 61

60 - 41

40 - 21

< 20

No. Kelas

I

II

III

IV

V

Deskripsi

sangat baik

baik

sedang

jelek

sangat jelek


   Tabel 3.10. Arti kelas massa batuan(8)
No kelas
I
II
III
IV
V
Stand-up time rata-rata
20 tahun untuk span 15m
6 bulan untuk span 8m
1 minggu untuk span 5m
10 jam untuk span 2,5m
30 menit untuk span 1m
Kohesi massa batuan  (KPa)

> 400

300-400

200-300

100-200

< 100
Sudut geser dalam massa batuan

> 45

35 - 45

25 - 35

15 - 25

< 15

Hasil klasifikasi sistem RMR juga dapat merekomendasikan tipe penyangga dan memperkirakan besarnya modulus elastisitas massa batuan (E) dengan rumus ;
            E (massa batuan) = 2 RMR – 100 (GPa)




 
     
                   










   gambar 3.3 Hubungan nilai RMR dengan stand-up Time (8)


Tabel 3. 11.  Petunjuk untuk penggalian dan penyangga terowongan  batuan         dengan klasifikasi RMR - sistem(8)

Kelas massa batuan

Penggalian
Penyanggaan
Rock bolt (dia: 20 mm, fully grouted)
Shotcrete
Steel set
Batuan sangat baik (kelas I)
RMR 81 – 100
Full face dengan kemajuan 3m
Umumnya tampa penyanggaan, adakalanya pengukuran dilakukan untuk memakai spot bolting

Batuan baik (kelas II)
RMR 61 – 80
Full face dengan kemajuan 1 – 1,5 m
penyangga 20 m dari face
Lokalisasi, bolt pada atap sepanjang3 m adakalanya dengan wire mesh


50 mm di atap


Tidak ada

Batuan sedang (kelas III)
RMR 41 – 60
Top heading dan bench dengan kemajuan 1,5 - 3 m. Penyangga  dimulai setelah peledakan dan 10 m dari face.
Bolt sistematis  panjang 4 m dan spasi 1,5 – 2 m di atap dan di dinding. Pada atap dengan wire mesh.

50 – 100 mm di atap dan 30 mm di dinding


tidak ada

Batuan jelek (kelas IV)
RMR 21 – 40
Top heading dan bench dengan kemajuan 1 - 1,5 m di top heading. Lakukan penyanggaan setiap 10 m dari face
Bolt sistematis panjang 4 – 5 m dengan spasi 1 – 1,5 di atap dan di dinding dengan wire mesh

100 – 150 mm di atap dan 100 mm di dinding

Rib ringan – sedang dengan spasi 1,5 m


Batuan sangat jelek
 (kelas V)
RMR < 20
Multiple drift dengan kamajuan 0,5 – 1,5 m di top heading. Buat penyangga setiap penggalian. Shootcrete segera dipasang setelah penggalian
bolt sistematis panjang 5 – 6 m dengan spasi 1 – 1,5 m di atap dan di dinding dengan wire mesh. Bolt juga dapat dipasang di lantai


150 – 200 mm di atap, 150 mm di dinding dan 50 mm di face

Rib sedang – berat dengan spasi 0,75 dengan stell lagging dan forepoling
3.2.2 Klasifikasi  sistem Q

Sistem Q diperkenalkan Barton dan kawan-kawan pada tahun 1974 dengan memperhitungkan enam parameter untuk menentukan kualitas massa batuan secara numerik yaitu:
1.      Rock quality designation (RQD)
2.      Jumlah pasangan kekar (Jn)
3.      Kekasaran diskontinuitas paling buruk (Jr)
4.      Tingkat alterasi atau pengisian rekah (Ja)
5.      Aliran air tanah(Jw)
6.      Kondisi tegangan (SRF)

3.2.2.1 Pembobotan sistem Q

Bobot masing-masing parameter tercantum pada tabel 3.12. Keenam parameter dibagi menjadi tiga komponen untuk memperoleh nilai kualitas massa batuan (Q) yaitu:
Q  = *
Kolom pertama (RQD/Jn) menunjukkan ukuran relatif dari blok, kolom kedua (Jr/Ja) di nyatakan sebagai indikator kuat geser inter–blok, sedangkan kolom terakhir (Jw/SRF) menggambarkan tegangan aktif.

Nilai Q dihubungkan dengan kebutuhan penyangga terowongan dengan menetapkan dimensi ekivalen dari galian. Dimensi ekivalen merupakan fungsi dari ukuran dan kegunaan dari galian didapat dengan membagi span, diameter atau tinggi dinding galian dengan harga yang disebut Excavation Support Ratio (ESR).
Span maksimum yang dapat tidak disangga diperoleh dengan persamaan berikut :
    
Span maksimum (unsupported) =  2 (ESR) Q0,4


Hubungan antara nilai Q dan  tekanan penyangga permanent (Proof) adalah:
Proof  =      Jn ½  Q1/3
Pwall  =     Jn ½  Qw1/3

Menurut Rule Of Thumb Benson (1971), panjang baut batuan dan anchor pada kondisi in-situ adalah :
Pada atap,
panjang bolt =    2 + 0.15
anchor         =    0.40
pada dinding,
panjang bolt       =                               2 + 0.15
anchor          =    0.35
Wall factor dipengaruhi oleh harga nilai Q yang diperoleh
untuk harga Q > 10, maka wall factor (Qw) adalah 5 Q
untuk harga 0.1 < Q < 10, maka harga Qw adalah 2.5 Q
untuk harga Q < 0.1, maka harga Qw adalah 1.0 Q

3.2.2.2 Penentuan klasifikasi Q – system

Cara penentuan klasifikasi Q – system :

1.      Klasifikasikan kualitas massa batuan melalui peta topografi, core bor anality atau trial adit. Klasifikasi ditujukan untuk menentukan pemerian nilai RQD, jumlah pasangan kekar (Jn), kekasaran kekar (Jr),  alterasi kekar (Ja), aliran air tanah air tanah (Jw) dan pembebanan tegangan-regangan (Tabel 3.12 – 3.17).
2.      Pilih dimensi optimum penggalian berupa tujuan penggalian dilakukan yang dinyatakan dengan ESR pada tabel 3.18.
3.      Tentukan permanent support untuk digunakan pada lubang bukaan sesuai dengan harga Q yang disesuaikan dengan tabel 3.19; 3.20; 3.21 dan 3.22.
Hubungan antara indeks Q dan dimensi eqivalen dapat menentukan ukuran penyangga yang sesuai. Barton dan kawan – kawan (1974) menyediakan kategori penyangga sebanyak 38 buah yang memenuhi syarat untuk penyangga permanen seperti diberikan oleh tabel 2.19.

Untuk menentukan penyangga sementara, indeks Q ditambah menjadi 5Q atau ESR ditambah menjadi 1,5 ESR. Sementara panjang baut batuan (L) ditentukan dengan persamaan :     L =  2 + 0,15 B/ ESR

  Tabel 3.12. Pembobotan parameter  RQD pada klasifikasi  Q – sistem(4)
DESKRIPSI
RQD
A
Sangat buruk
0 – 25
B
Buruk
25 – 50
C
Memadai
50 – 75
D
Baik
75 – 90
E
Memuaskan
90 - 100
 Catatan :   i) Dimana RQD dilaporkan atau diukur dengan < 10 (termasuk 0) sebuah nilai dari        10 digunakan untuk mengevaluasi Q
               ii) Interval RQD = 5 cukup teliti, yaitu 100, 95, 90 dan seterusnya

 Tabel 3.13. Pembobotan parameter jumlah pasang kekar (Jn) (4)
DESKRIPSI
Jn
A
Masif, tidak ada atau sedikit kekar
0,5 – 1
B
Satu bentuk kekar
2
C
Satu bentuk kekar ditambah kekar acak
3
D
Dua bentuk kekar
4
E
Dua bentuk kekar ditambah kekar acak
6
F
Tiga bentuk kekar
9
G
Tiga bentuk kekar ditambah kekar acak
12
H
Tiga bentuk kekar ditambah kekar acak
15
I
Empat atau lebih betuk kekar, acak, kekar dengan berat “kubus
 gula” dan lain – lain.
20
Catatan:  i) untuk perpotongan dipakai (3 * Jn)
              ii) untuk portal dipakai (2 * Jn)
Tabel 19 sampai 22 menunjukkan nilai Q dan ukuran penyangga yang dianjurkan oleh Barton dan kawan – kawan (1974).

     Tabel 3.14. Pembobotan parameter tingkat kekasaran kekar (Jr) (4)
a) Dinding batuan bersentuhan
b) Sentuhan dinding batuan sebelum menggeser 10 cm
DESKRIPSI
Jr
A
Kekar tidak menerus
4
B
Kasar atau tidak teratur, bergelombang
3
C
Halus, bergelombang
2
D
Licin, bergelombang
1,5
E
Kasar atau tidak teratur, rata
1,5
F
Halus, rata
1,0
G
Licin dan rata
0,5
Catatan:   i) Desripsi B ke G gambaran untuk skala kecil dan menengah sebagaimana ditentukan
    
   c)  Tidak ada dinding batuan bersentuhan setelah pergeseran
H
Tebal zona mineral yang mengandung lempung cukup untuk menahan sentuhan dinding batuan
1,0
I
Tebal zona pasiran, kerikil atau batuan pecah (remuk) cukup untuk menahan sentuhan dinding batuan
1,0
Catatan:  ii) Tambahan 1,0 jika bentuk kekar relevan lebih besar dari 3 m
                  iii) Jr = 0,5, dapat digunakan untuk kekar yang licin dan rata yang mempunyai perlapisan, asalkan perlapisan diorientasikan untuk kekuatan minimum
 
   Tabel 3.15. Pembobotan untuk parameter alterasi kekar (Ja) (4)
      a)Dinding batuan bersentuhan
DESKRIPSI
Ø
approx
Nilai
A
Sangat rapat, keras, tidak ada pelunakan, tidak dapat ditembus pengisian yaitu: kwarsa dan epidot.
-

0,78
B
Diding kekar tidak berubah, permukaan hanya tercemari
25 – 35o
1,0

C
Dinding kekar agak berubah, tidak ada pelunakan, perlapisan mineral, partikel pasiran, lempung tanpa batuan hancur dan lain - lain

25 – 30o

2,0
D
Perlapisan lempung lanauan atau lempung pasiran, fraksi lempung kecil (tidak ada pelunakan)

20 – 25o

3,0

E
Pelunakan atau gesera rendah perlapisan mineral lempung yaitu kaolinit juga mika dan klorit, talek, gypsum,graphit dan yang lainnya dan sejumlah lempung yang memuai

88 – 16o

4.-,0
   b)  Sentuhan dinding batuan sebelum menggeser 10 cm
F
Partikel pasiran,lempung tanpa batuan hancur, dan lain-lain
25 – 30o
4,0
G
Benar–benar terkonsolidasi berlebihan, tidak ada pelunakan, mineral pengisi (menerus dengan ketebalan < 5 mm)

16 – 24o

8,0
H
Konsolidasi berlebihan sedang – rendah, pelunakan, pengisi mineral lempung (menerus dengan ketebalan < 5 mm)

12 – 16o

8,0

J
Pengisi lempung yang memuai yaitu: montmorilonit (menerus dengan ketebalan < 5 mm). Nilai Ja tergantung pada persentase partikel lempung yang memuai dan keberadaan air

66 – 12o

8 - 12
K
Zona – zona lempung atau bataun hancur (lihat G, H, J untuk pemerian kondisi lempung)
66 – 24o
6, 8 ,
8 - 12
L
Zona –zona lempung lanauan atau lempung pasirann fraksi lempung kecil (tidak ada pelunakan)

5,0
M
Tebal, zona – zona lempung menerus ( lihat G, H, J untuk pemerian kondisi lempung)

10, 13,
13 - 20

   Tabel 3.16. Pembobotan aliran air tanah(4)

DESKRIPSI
approx tek.air
(Kg/cm2)

Jw
A
Lubang bukaan kering atau aliran air kecil (< 5L/menit)
< 1,0
1,0
B
Aliran air kecil ( < 5 L/men), terjadi pencucian pengisi kekar
1,0 – 2,5
0,66
C
Aliran dan tekanan air besar batuan batuan kompeten yang kekarnya tidak terisi material
2,5 – 10
0,5
D
Aliran dan tekanan air besar, kemungkinan mencuci material pengisi kekar
2,5 – 10
0,33
E
Dengan pengecualian pemasukan dan tekanan air sangat tinggi, pada peledakan kerusakan sejalan dengan waktu
> 10
0,1–0,2
F
Pengecualian pemasukan dan tekanan air sangat tinggi, terus menerus tanpa kerusakan yang menyolok
> 10
0,05-0,1
Catatan:  i) Faktor – faktor C sampai F adalah estimasi kasar. Tambahan Jw, jika dipasang alat pengukur drainase.
              ii) Masalah khusus yang disebabkan deformasi  tidak dipertimbangkan            


 








   Tabel 3.17. Pembobotan faktor reduksi tegangan(4)

   a) Penggalian memotong zona bidang lemah yang dapat menghasilkan daerah    runtuhan    apabila terowongan selesai digali

DESKRIPSI
SRF
A
Banyak bidang lemah yang mengandung lempung dan batuan terlapukkan, batuan disekitarnya sangat lepas (berbagai kedalaman)
10,0
B
Terdapat bidang lemah tunggal yang mengandung lempung dan batuan terlapukkan (kedalaman penggalian ≤ 50 m)
5,0
C
Terdapat bidang lemah tunggal terdiri dari lempung dan batuan terlapukkan (kedalaman penggalian < 50 m)
2,5
D
Multi zona geser pada batuan kompeten (bebas lempung) daerah batuan lepas pada sembarang kedalaman penggalian.
7,5
E
Zona geser tunggal pada batuan kompeten (bebas lempung, kedalaman penggalian ≤ 50 m)
5,5
F
Zona geser tunggal pada batuan kompeten (bebas lempung, kedalaman penggalian > 50 m)
2,5
G
Lepas, kekar terbuka berbentuk “kubus gula” (pada sembarang kedalaman)
5,0
Catatan: i) Kurangi nilai – nilai SRF ini dengan 25 – 50% jika zona geseran relevan hanya berpengaruh tetapi tidak memotong penggalian
 

   b) Batuan kompeten, masalah tegangan batuan
DESKRIPSI
σc1
σt1
SRF
H
Tegangan rendah, dekat permukaan, kekar terbuka
> 200
< 0,01
2,5
J
Tegangan medium, keadaan tegangan mendukung
10 - 200
0,01 - 3
1

K
Tegangan tinggi, struktur sangat padat. Biasanya mendukung stabilitas tetapi kurang mendukung untuk stabilitas dinding

5 - 10

0,3 – 0,6

0,5 - 2
L
Hancuran batuan sedang (batuan massive)
2,5 - 5
0,16 - 0,3
5 - 10
M
Hancuran batuan tinggi (batuan massive)
< 2,5
< 0,16
10 - 20
Catatan:  ii) Untuk tegangan murni anisotropic lapangan yang sangat kuat(jika diukur): apabila 5 σ13 10, kurangi σc sampai 0,8 σc dan σt sampai0,8 σt . Apabila σ13  > 10 kurangi σc  dan   menjadi 0,6σc dan σt menjadi 0,6σt. dimana σc. kuat tekan bebas, σ1 dan σ3 adalah tegangan utama, σt adalah kuat tarik.
              iii) Beberapa catatan kasus adalah dimana kedalaman crown dibawah permukaan kurang dari panjang bentang. Diperkirakan SRF naik dari 2,5 menjadi5 untuk kasus seperti itu (lihat H)
    

     c)Batuan sisipan, aliran plastis dari dua batuan tidak kompeten dibawah tingginya      tekanan batuan

N
Tekanan batuan sisipan sedang
5 – 10
O
tekanan batuan sisipan tinggi
10 - 20
   d) Batuan memuai, aktivitas pemuaian tergantung pada air     
P
Tekanan batuan memuai sedang
5 – 10
R
Tekanan batuan memuai tinggi
10 - 15


   Tabel 3.18. Harga ESR untuk berbagai lubang bukaan(4)
KATEGORI LUBANG BUKAAN
ESR
A
Terowongan tambang temporer (< 10 tahun)
2
B
Sumuran vertikal:
Bentuk lingkaran
Bentuk empat persegi

2,5
2,0
C
Untuk tambang permanen, saluran air pembangkit tenaga, drift dan heading pada penggalian yang besar

1,6
D
Storage cavern, saluran air, jalan raya kedua dan acces tunnel
1,3
E
Stasiun pembangkit, jalan raya utama (rail road), portal
1,0
F
Stasiun nuklir bawah tanah, stasiunrail road, factories
0,8

·         Sesuai aturan Barton (1974)
·         pendekatan
·         estimasi penyanggaan oleh Barton dan kawan-kawan.
·         lihat catatan 12 di catatan tambahan
·         lihat catatan 13 di catatan tambahan
·         tipe penyangga yang digunakan pada kategori 1 – 8 dipengaruhi oleh tehnik peledakan.sb = spot bolting, B =  sistematik bolting, utg = tidak ditegangkan, tg =  ditegangkan, S = shotcrete, mr =  bertulang jaring baja, clm = chain – link mesh, CCA = cast concrete arch, sr = bertulang baja.

Catatan tambahan untuk kategori penyangga:

1.      Untuk kasus batuan yang sangat hancur atau “ popping”, baut yang ditegangkan dengan alas flat sering digunakan dengan spasi 1 m. Penyanggaan akhir dipasang saat aktivitas “popping”  mulai terjadi.
2.      Beberapa panjang baut yang sering digunakan pada penggalian yang sama yaitu: 3, 5 dan 7 m.
3.      Beberapa panjang baut yang sering digunakan pada penggalian yang sama yaitu: 2, 3 dan 4.
4.      Kabel anchor tertegangkan sering digunakan untuk menunjang tekanan baut dengan spasi 2 – 4 m.
5.      Beberapa baut digunakan untuk penggalian yang sama yaitu: 6, 8 dan 10 m.
6.      Kabel anchor tertegangkan sering digunakan untuk mendukung tekanan penyangga baut batuan dengan spasi 4 – 6 m.
7.      Pada pemakaian sebelumnya, untuk stasiun pembangkit tenaga pemakaian sistematik dan spot bolting dengan chainlink mesh dan free-span roof concrete(25 – 40 cm) digunakan sebagai penyangga permanen.
8.      Untuk kasus Swelling seperti monmorilonite clay. Pada swelling kuat, ruang pengembangan material harus diperkirakan diantara penyangga.
9.      Kasus ini tidak mengandung swelling clay atau batuan sisipan.
10.  Kasus ini mengandung batuan sisipan. Untuk penyangga permanen dipakai material kuat dan kaku.
11.  Catatan Barton, untuk kasus swelling dan squeezing, penyangga temporer perlu dipasang sebelum pemasangan concrete atau shotcrete. Bila harga RQD/Jn > 1.5, digunakan bolting atau dikombinasikan dengan shotcrete. Tetapi bila harga RQD/Jn < 1,5 maka sistemais bolting perlu ditambahkan setelah concrete arching untuk mengurangi tingginya pembebanan batuan. Bila swelling clay dan squeezing sangat berat pemasangan temporary support di face harus segera dilakukan.
12.  Dengan pertimbangan faktor keamanan, multiple drift sering digunakan selama penggalian dan penyanggaan di roof arch kategori 16, 20, 24, 28, 32, 35 (hanya untuk span/ESR > 15 m).
13.  Dengan pertimbangan faktor keamanan, multiple drift sering digunakan selama penggalian dan penyanggaan arching, dinding dan lantai untuk squeezing kuat. Kategori penyangga no 38 (hanya untuk span/ ESR > 10 m)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar