3. DASAR TEORI
3.1.
Umum
Pada tambang bawah tanah, permasalahan keamanan lubang bukaan dari
ambrukan baik dari atap atau dinding adalah prioritas utama. Untuk itu
diperlukan rancangan stabilitas yang akurat dalam menunjang keselamatan pekerja
dan peralatan tambang. Secara ringkas berikut ini akan dijelaskan tekanan yang
terjadi pada batuan, analisis tegangan – regangan, kriteria runtuhnya batuan,
distribusi tegangan disekitar lubang bukaan serta kontrol terhadap tegangan
yang timbul pada batuan. Kesemuanya hal diatas berhubungan erat dengan kondisi
stabilitas lubang bukaan baik untuk heading
maupun untuk kegiatan long wall.
3.1.1 Tekanan batuan
Tekanan batuan dikategorikan kedalam beban statik dan beban dinamik.
beban statik atau biasa disebut dengan beban mati adalah beban berat batuan
yang terlepas dari batuan induk sehingga membebani batuan dibawahnya atau
membebani sistem penyangga (jika digunakan). Tekanan yang terjadi karena
runtuhnya dinding lubang bukaan juga termasuk pada tekanan statik.
Sedangkan beban dinamik merupakan beban akibat pergerakan batuan
misalnya getaran oleh peledakan atau peralatan tambang. Keadaan ini terlihat
jelas pada atap yang menurun serta lantai yang mengalami floor heave.
Faktor – faktor penyebab tekanan batuan
adalah :
1.
Berat batuan itu sendiri,
merupakan perkalian bobot isi batuan dengan kedalaman letaknya dari permukaan
bumi.
2.
Tegangan pada batuan dibawah
permukaan, hal ini terjadi apabila disekitar batuan terdapat gejala geologi
seperti perlipatan dan patahan. Dengan dibukanya lubang bukaan maka akan
terjadi pelepasan energi secara tiba – tiba.
3.
Absorbsi air. Batuan yang
sifatnya menyerap air akan lebih mudah terintegrasi kekuatannya karena
cenderung mengalami tingkat pelapukan dan swelling yang tinggi.Secara umum
batuan mempunyai kuat tekan yang tinggi
dan berbanding terbalik dengan kuat tariknya. Pada lubang bukaan, kuat tarik
terdistribusi dibagian atap dan lantai sedangkan kuat tekan di dinding terowongan. Berikut ini diperlihatkan
beberapa kekuatan batuan pada kondisi batuan kering.
Tabel 3.1 Contoh kekuatan beberapa batuan(3)
Jenis batuan
|
Kuat
tekan (σc)
kg/cm2
|
Kuat
tarik (τ)
kg/cm2
|
Granit
|
1.722
|
53
|
Andesit
|
1.093
|
63
|
Batu pasir
|
700
– 1.280
|
27
|
Batuan shale pasiran
|
1.100
|
35
|
batuan shale
|
1.000
|
35
|
Batubara
|
340
|
17
|
3.1.2 Analisis tegangan –
regangan
Tegangan (σ) merupakan gaya
yang bekerja (P) pada suatu media per satuan luas (A)(3). Dalam hal ini gaya
yang bekerja tersebar merata dirumuskan:
σ =
Regangan (ε) merupakan pertambahan panjang (ΔL) dari batang prisma dibagi dengan
panjang mula - mula (L) apabila dikenai gaya , dirumuskan :
ε =
Secara umum tegangan tergantung pada :
-
tegangan dimana dia dikenakan
-
orientasi dari luas permukaan
diman dia dikenakan
-
sistem dari gaya
– gaya luar
yang dikenakan pada sebuah benda.
Kriteria failure batuan
Kriteria failure batuan ditentukan dari hasil percobaan dengan
memasukkan parameter – parameter sifat fisik dan mekanik batuan. Pada tegangan
bidang, dua tegangan dasar saja yang berpengaruh dan satu tegangan lain sama
dengan nol.Demikian juga pada regangan bidang, intermediate principle stress (σ2) merupakan fungsi dari tegangan utama tadi ( σ1 dan σ3).
Beberapa teori yang membahas runtuhnya batuan:
-
Teori Mohr, menyatakan bahwa
kuat tarik tidak sama dengan kuat tekan dan untuk suatu kondisi tegangan σ1
> σ2 > σ3, σ2 tidak mempengaruhi
failure batuan.
-
Kriteria Mohr – Coulomb,
menyatakan failure batuan pada sebuah lingkaran Mhor(3) dengan persamaan τ = C + μσ dengan:
·
τ adalah tegangan geser
·
C adalah kohesi
·
μ adalah koefisien geser batuan = tg Ø
·
σ adalah tegangan normal
-
Kriteria tegangan maksimum,
menyatakan failure batuan diakibatkan oleh tarikan jika padanya dikenakan
tegangan utama (σ3) yang besarnya sama dengan kuat tarik uniaksial
(σt).
-
Kriteria tegangan geser
maksimum, menyatakan bahwa batuan mengalami failure jika tegangan geser
maksimim sama dengan kuat geser batuan.
3.1.4 Distribusi tegangan disekitar terowongan.
Sebelum dibuat terowongan terjadi tiga macam tegangan mula – mula
yaitu :
-
tegangan gravitasi, terjadi
karena berat over burden diatasnya.
-
tegangan tektonik, terjadi
karena adanyan pergeseran pada kulit bumi
-
tegangan sisa berupa gempa
bumi.
Tegangan tektonik dan tegangan sisa dianggap sama dengan nol karena
pengaruhnya sangat kecil, sehingga tegangan mula – mula sama dengan tegangan
gravitasi dirumuskan(3) :
σo = γ H
keterangan,
σo = tegangan mula – mula
γ = density batuan
Sesudah terowongan dibuat, distribusi terowongan dipengaruhi oleh
geometri lubang bukaan, keadaan batuan,perilaku batuan dan kondisi tegangan.
3.1.5 Pengontrolan terhadap tegangan
Monitoring tegangan pada tambang bawah tanah adalah masalah yang
sama pentingnya dengan pemantauan hal–hal lain seperti ventilasi atau drainase.
Dalam monitoring tegangan yang terjadi dalam
lubang bukaan ada tiga pertimbangan yang perlu diperhatikan, yaitu:
-
pertimbangan besar geometri
lubang bukaan
-
pertimbangan besar kecilnya
pilar, serta
-
pertimbangan terhadap sistem
penyangga yang akan digunakan.
Pada material elastik batubara, adanya konsentrasi tegangan yang sangat
besar akan terjadi pada sisi bagian luar dari lubang bukaan. Jika tegangan ini
terjadi pada pilar, maka pilar akan mengalami rupture, berbeda pada
bagian elastik batubara memiliki sifat kekuatan yang lebih rendah.
Klasifikasi massa
batuan
Dalam ilmu
rekayasa batuan stabilitas suatu massa
batuan dapat ditinjau terhadap tiga metoda rancangan yaitu :
1.
Metoda rancangan analitik yang
pada prinsipnya memberikan harga stabilitas lubang bukaan dari hasil pengujian massa batuan di
laboratorium atau secara in – situ. Pada metode ini kondisi massa batuan didalam lubang bukaan
digambarkan kedalam permodelan numerik, permodelan fisik dan simulasi analog.
2.
Metode observasi yaitu
rancangan terowongan berdasarkan pemantauan lubang bukaan terhadap perpindahan massa batuan selama
penggalian atau untuk jangka waktu lama. Peralatan yang digunakan yaitu
Convergenmeter dan Extensometer.
3.
Metode empiris yaitu pengujian
stabilitas lubang bukaan berdasarkan analisa statistika penerowongan yang
pernah dilakukan. Hasil penelitian memberikan nilai klas massa batuan sesuai standarisasi metode yang
digunakan.
Untuk kegiatan rancangan lubang bukaan, ketiga metoda diatas
sebaiknya dikombinasikan dengan tepat dan tidak terfokus terhadap salah satu
metode. Dengan demikian hasil yang diperoleh lebih akurat dan layak untuk
kontruksi lubang bukaan.
Tujuan klasifikasi massa
batuan adalah
-
Mengelompokkan jenis massa batuan berdasarkan
kesamaan perilakunya
-
Sebagai dasar untuk dapat
memahami karakteristik tiap-tiap klas
-
Memberikan data kuantitatif
untuk rancangan rekayasa batuan
-
Sebagai dasar yang diterima
secara luas untuk komunikasi diantara para perancang dan ahli rekayasa batuan.
Beberapa metode empiris yang paling populer diterapkan di dunia
pertambangan adalah:
-
Pembebanan batuan Terzaghi
(1946)
-
Stand –up time (Laufer, 1958)
-
RQD (Deere, 1967)
-
RSR (Wickham, 1972)
-
RMR (Bieniawski, 1973)
-
Sistem Q (Barton, 1974)
Pada tahun- tahun terakhir ini metode yang paling umum digunakan
adalah metode RMR dan sistem Q. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu :
1.
Hasil klasifikasi yang lebih
akurat karena pendataan klasifikasi berdasarkan beberapa parameter yang
benar-benar mewakili kondisi geologi bawah permukaan
2.
Pemakaiaannya lebih sederhana
3. Rekomendasi penyanggaan yang diberikan relatif lebih praktis karena
cenderung menggunakan Rockbolt dan shootcrete.
Sistem RMR
Metoda RMR (Rock mass rating) dikembangkan Bieniawski tahun 1973 di
Afrika Selatan dengan memperhitungkan enam parameter. Dari enam parameter yang
digunakan empat diantaranya mewakili struktur geologi yaitu:
1.
Rock quality designation (RQD)
2.
Spasi diskontinuitas (js)
3.
Kondisi diskontinuitas (jc)
4.
Orientasi diskontinuitas (jo).
Sedangkan dua yang lain mewakili sifat mekanik yaitu :
5.
Kuat tekan uniaksial (σc)
6.
Kondisi air tanah (Gw)
Rumusan sistem RMR(8) Adalah :
RMR =
σc + RQD + js + Gw +jc
Adjusted RMR = RMR + jo
Setiap parameter mempunyai rentang bobot tertentu (lihat tabel 2.1)
yang besarnya ditentukan secara interpolasi atau secara grafis. Menurut sistem
RMR ini, massa batuan dibagi menjadi lima klas seperti pada
tabel 2.2. selanjutnya tiap klas mempunyai estimasi stand-up time dan
rekomendasi penyanggaan masing-masing.
3.2.1.1 Rock quality design ( RQD)
Rock quality designation (RQD) didefenisikan sebagai persentase
perolehan core yang lebih besar dari
10 cm dibagi panjang lubang bor(2), dirumuskan sebagai berikut:
RQD = * 100%
RQD = panjang core ≥ 10 cm
Untuk menentukan RQD, ISRM merekomendasikan ukuran inti paling kecil
berdiameter NX (54,7 mm) yang dibor dengan menggunakan double tube core barrels.
Hubungan antara indeks RQD dan kualitas
teknik dari batuan adalah sebagai berikut (Deere, 1968).
Tabel 3.2 Hubungan
indeks RQD dengan kualitas massa
batuan(8)
RQD (%)
|
Kualitas batuan
|
‹ 25
|
Sangat jelek
|
25 – 50
|
Jelek
|
50 – 75
|
Sedang
|
75 – 90
|
Baik
|
90 - 100
|
Sangat baik
|
Jika inti tidak ada, Palmstrom (1975) mengusulkan harga RQD dengan
memperkirakan jumlah kekar – kekar per satuan volume(4),
dirumuskan sebagai berikut:
RQD = 115 – 3,3 jv
Jv = jumlah total kekar per m3.
Walaupun RQD adalah indeks yang sederhana dan murah, tetapi tidak
cukup melakukan deskripsi yang baik dari massa
batuan karena tidak memperhatikan orientasi kekar, keketatan dan material
pengisi.
`
ROD = (36 + 17 + 20 + 43)/ 200
= 59%
Gambar 3.1 Prosedur penentuan RQD dari
hasil coring (2)
3.2.1.2.Spasi diskontinuitas
Bidang
diskontinuitas adalah semua jenis bidang-bidang yang mungkin berupa
kekar,sesar, bidang perlapisan dan bidang perlipatan atau bidang-bidang lain
yang tidak menerus dalam massa
batuan.
Suatu rekahan atau kekar yang parallel disebut set, dan set-set yang
saling berpotongan disebut joint set
system. Kemudian jarak tegak lurus antara dua kekar yang berurutan
sepanjang garis pengukuran (scan line) disebut dengan jarak bidang
kekar. Untuk dapat mempermudah pengertian istilah-istilah tersebut dan cara
pengukuran jarak diskontinuitas dapat dilihat pada gambar 3.2 yang menunjukkan
idealisasi pengukuran.
Gambar 3.2 Penentuan jarak
kekar dilapangan(8)
Jarak kekar secara normal dimana jarak masing-masing kekar
ditunjukkan dengan jarak d12, d23, d34 dan
seterusnya yang diukur pada scan line
AB.
Sedangkan arah strike/dip yang dijumpai dilapangan tidah semudah
yang ditunjukkan oleh gambar 3.2 (a), sehingga scan line AB tidak mungkin untuk dibuat tegak lurus dengan
bidang-bidang kekar, dimana dilakukan pengukuran dan pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang
(gambar2.2b), kemudian dihitung jarak kekar dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
d i+(i+1) = J i+(i+1)
Cos
Cos θ = Cos (άn
- ά s) Cos βn Cos βs + Sin βn Sin
βs
Keterangan:
άs = arah
dip scan
άd = arah dip kekar
βs = dip scan line
βd = dip
kekar
βn = 90 –
βd
άd ≤ 180o,
maka άn = άd
+ 180o
άd > 180o,
maka άd = άd - 180o
Panjang minimum scan line
untuk pengukuran jarak diskontinuitas adalah sekitar 50 kali jarak
rata-rata diskontinuitas yang diukur. Sedangkan ISRM (1981) panjang scan line
cukup 10 kali saja tergantung kepada tujuan pengukuran. Jarak diskontinuitas
menurut attewell(1983) dan Deere(1968) dapat dilihat pada tabel 3.2 dan tabel
3.3.
Jarak diskontonuitas yang rapat dapat terdiri dari tiga atau lebih
set yang saling berpotongan membuat batuan menjadi blok-blok kecil, sehingga
memperlemah blok-blok batuan. Kondisi ini menjadi lebih buruk jika kekar
mempunyai kuat geser yang rendah maka blok batuan tersebut dapat jatuh.
Tabel 3.3 . Klasifikasi
jarak kekar menurut Attewell (1993)(8)
Deskripsi
|
Struktur bidang
diskontinuitas
|
Jarak (mm)
|
Sangat lebar
|
Perlapisan sangat tebal
|
> 2000
|
Lebar dan luas
|
Perlapisan tebal
|
600 – 2000
|
Lebar sedang
|
Perlapisan sedang
|
200 – 600
|
Dekat
|
Perlapisan tipis
|
60 – 200
|
Sangat dekat
|
Perlapisan sangat tipis
Sangat berlapis
Perlapisan tipis (metamorf dan beku)
Berfolias,belahan aliran
perlapisan
|
20 – 60
6 – 20
6 – 20
6 – 20
|
Sangat dekat sekali
|
Perlapisan tipis (sediment)
sangat berfoliasi, belahan aliran
perlapisan, dll (batuan metamorf dan beku)
|
< 20
< 6
< 6
|
Tabel 3.4. Klasifikasi jarak
kekar menurut Deere (1968)(8)
Deskripsi
|
Strruktur bidang
diskontinuitas
|
Jarak (mm)
|
Sangat lebar
|
padat
|
> 3000
|
Lebar
|
Massif
|
1000 – 3000
|
Cukup dekat
|
Blooky/terpecah
|
300 – 1000
|
Dekat
|
Terpecah
|
50 – 300
|
Sangat rapat
|
Hancur dan tersebar
|
< 50
|
3.2.1.3. Kondisi bidang diskontinuitas
Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughnes),
regangan, pelapukan batuan samping dan material pengisi.
Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk
kekar yang mengalami pergeseran atau terisi oleh material lain.kekasaran yang
saling mengunci dan saling menempel akan mempertinggi kuat geser. Di lapangan
penentuan kekasaran dapat dilakukan dengan meraba permukaan kekar.
Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan deskripsinya diberikan
oleh ISRM (1981). Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 – 10 m dengan skala
vertikal dan horizontal sama.
Regangan adalah jarak tegak lurus yang memisahkan batuan dinding
dari kekar yang terbuka. Kekar yang terisi oleh material lain dapat digolongkan
sebagai sepasi jika material pengisinya telah tercuci secara lokal.separasi
dapat dikatakan kecil jika kekasaran dinding kekar cenderung menjadi terkunci
dan material pengisi kekar memberikan dukungan terhadap kuat geser.
Pelapukan batuan samping disisi bidang diskontinuitas dinyatakan
dalam derajat pelapukan sebagai berikut:
-
tidak lapuk; tidak ada
tanda-tanda pelapukan, batuannya segar dan kristalnya nampak jelas, waaupun
terdapat beberapa pada kekar ada sedikit pelapukan.
-
Sedikit terlapukkan; pelapukan
terdapat pada kekear terbuka, tetapi pada batuan utuh terjadi hanya sedikit
saja, dan perubahan warna pada kekar dapat mencapai jarak 10mm.
-
Terlapukkan sedang; perubahan
warna mencapai bagian yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas (kecuali pada
batuan sedimen dengan penyemenan jelek)
-
Sangat terlapukkan; pelapukan
mencapai semua bagian massa
batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material lain kecuali kwarsa
sudah berubah warna, batuan mudah pecah (digali dengan palu geologi).
-
Terlapukkan sempurna; massa batuan secara
keseluruhan sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta dalam keadaan
rapuh, hanya terlihat bekas struktur saja, kenampakan luar sudah seperti tanah.
Material pengisi antara lain kalsit, lempung, lanau, kwarsa dan lain
sebagainya. Jika terisi oleh material pengisi maka harus ditentukan tebal,
jenis dan kemenerusannya. Material pengisi sangat mempengaruhi kekuatan batuan,
karena mampu sebagai perekat dan sebagai pemisah antar blok.
3.2.1.4. Orientasi bidang diskontinuitas
Orientasi bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan
kemiringan. Kutup dicatat dengan mengacu pada kutup utara magnet bumi sedangkan
kemiringan adalah sudut yang dibentuk antara bidang horizontal dengan bidang
kekar searah dengan bidang kemiringan.
Orientasi bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan
dengan istilah menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang
menguntungkan dalam terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap
sumbu aksis terowongan. Sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap
arah sumbu aksis terowongan maka kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.
3.2.1.5
Kuat tekan uniaksial batuan
Kuat tekan uni aksial batuan diperoleh dari uji laboratorium yakni
dengan pengujian uniaxial compressive
strength (UCS). Pengujian ini menggunakan mesin tekan untuk memecahkan
batuan yang berbentuk silinder, balok, atau prisma dari satu arah dengan luas
perconto A dan panjang perconto l. Pada pengujian ini gaya (kN) dan
perpindahan (mm) menurut sumbu aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah.
Hasil pengujian UCS dibuat kurva tegangan regangan dengan perolehan data sifat
mekanik batuan sepertikuat tekan batuan(σc), modulus elastisitas (E)
dan poisson ratio (υ).
Jika data kuat tekan hasil iji UCS tidak diperoleh, maka dapat
menggunakan kuat tekan batuan dengan uji point
load strength indeks dan jika kedua pengujian diatas tidak ada maka dapat
dilakukan pendekatan standard indeks manual sebagai dasar uji dilapangan.
Tabel 3.5. Manual Indeks
Uniaksial Compressive Strenght (UCS)(2)
Deskripsi
|
Uji lapangan
|
UCS
(MPa)
|
Indeks
point load
(MPa)
|
Sangat lemah
|
Bisa ditekan dengan palu
|
0,25 – 1,0
|
-
|
Lemah
|
Hancur bila dipukul dengan palu/dapat digores dengan
pisau
|
5 – 25
|
-
|
Sedang
|
Tidak dapat digores dengan pisau
|
25 – 50
|
<1
|
Kuat
|
Dapat hancur dengan memukul lebih dari satu kali
|
50 – 100
|
2 – 4
|
Sangat kuat
|
Dapat hancur dengan memukul berkali-kali
|
100 - 200
|
4 – 10
|
Sangat kuat sekali
|
Sulit pecah dipukul dengan palu
|
> 250
|
> 10
|
3.2.1.6. Kondisi air tanah
Dalam pembuatan
terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah dalam liter per menit
sepanjang 10 m penggalian. Tetapi dilapangan dipakai cara yang relatif mudah
yaitu dengan meraba permukaan batuan
lalu kondisi air tanahnya dinyatakan dengan kondisi kering, lembab,
basah, menetes dan mengalir.
3.2.1.7. Prosedur klasifikasi sistem RMR
1.
Menghitung bobot (rating) total
dalam tabel 3.6. sesuai dengan kondisi lapangan sebenarnya, yakni dengan
menjumlahkan semua rating dari UCS,RQD, jarak diskontinuitas, kondisi
diskontinuitas, dan kondisi air tanah.
2.
Menilai kedudukan sumbu
terowongan terhadap jurus/kemiringan bidang diskontinuitas seperti yang
ditunjukkan tabel 3.7.
3.
Setelah menentukan sumbu
terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang-bidang diskontinuitas, maka
ratingnya ditetapkan berdasarkan tabel 3.8. langkah ini disebut juga sebagai
penyesuaian rating.
4.
Menjumlahkan rating dari
langkah pertama dengan rating yang didapatkan dari langkah ketiga, sehingga
diperoleh total rating sesudah penyesuaian. Dari rating ini diperoleh kelas massa batuan berdasarkan
tabel 3.9.
5.
Setelah kelas massa
batuan diperoleh maka dapat diperoleh arti kelas massa batuan dengan memperoleh nilai stan-up
time dari masaa batuan tersebut dengan span tertentu serta kohesi dan sudut
geser dalamnya seperti yang diperlihatkan tabel 3.10
6.
Berdasarkan klasifikasi
geo-mekanika ini, Bieniewski memberikan petunjuk penggalian dan penyangga
terowongan (tabel 3.10). petunjuk ini
hanya berlaku dibatuan dengan lebar 10m, berbentuk tapal kuda, tegangan
vertikal lebih kecil dari 25 MPa, serta metode penggalian dengan pemboran dan
peledakan.
Tabel 3.6. Parameter
klasifikasi dan pembobotan(8)
Parameter
|
Selang nilai
|
|||||||||
1
|
Kuat tekan batuan utuh
|
PLI
(MPa)
|
> 10
|
4 - 10
|
2 - 4
|
1 - 2
|
Untuk yang kecil dipakai UCS
|
|||
UCS
(MPa)
|
> 250
|
100-200
|
50-100
|
25 - 50
|
5 - 25
|
1 -5
|
< 1
|
|||
pembobotan
|
15
|
12
|
7
|
4
|
2
|
1
|
0
|
|||
2
|
RQD (%)
|
90 - 100
|
75 - 90
|
50 - 75
|
25 - 50
|
25
|
||||
Pembobotan
|
20
|
17
|
13
|
8
|
3
|
|||||
3
|
Jarak diskontinuitas
|
> 2m
|
0,6 – 2m
|
200-600mm
|
60-200mm
|
< 60mm
|
||||
Pembobotan
|
20
|
15
|
10
|
8
|
5
|
|||||
4
|
Kondisi
diskontinuitas
|
Permukaan sangat kasar, tidak menerus,
tidak renggang,tidak lapuk
|
Agak kasar, separasi < 1mm, agak lapuk
|
Agak kasar,separasi < 1 mm, sangat
lapuk
|
slikensided/gouge < 5mm, atau separasi
1 – 5 mm, menerus
|
Gouge lunak > 5 mm, atau separasi >
5 mm, menerus
|
||||
Pembobotan
|
30
|
25
|
20
|
10
|
0
|
|||||
5
|
A
i
r
t
a
n
a
h
|
Aliran/10m panjang tunnel (L/min)
|
tidak ada
|
< 10
|
10 - 25
|
25 - 125
|
> 125
|
|||
tekanan
|
0
|
< 0,1
|
0,1 – 0,2
|
0,2 – 0,5
|
> 0,25
|
|||||
keadaan umum
|
Kering
|
lembab
|
basah
|
menetes
|
mengalir
|
|||||
Pembobotan
|
15
|
10
|
7
|
4
|
0
|
|||||
Tabel 3.7. Efek
jurus/kemiringan diskontinuitas di dalam terowongan(8)
Arah jurus tegak lurus sumbu terowongan
|
Arah jurus sejajar sumbu terowongan
|
Mengabaikan jurus
|
||||
Maju searah kemiringan
|
Maju melawan kemiringan
|
|||||
dip
45o-90o
|
dip
20o-45o
|
dip
45o-900
|
dip
20o-45o
|
dip
45o-90o
|
dip
20o-45o
|
dip
0o-20o
|
sangat menguntungkan
|
menguntungkan
|
sedang
|
tidak menguntungkan
|
sangat tidak menguntungkan
|
sedang
|
sedang
|
Tabel 3.8. Penyesuaian
pembobotan orientasi bidang diskontinuitas(8)
Jurus dan kemiringan orientasi diskontinuitas
|
Sangat menguntungkan
|
Menguntungkan
|
Sedang
|
Tidak menguntungkan
|
sangat tidak menguntungkan
|
|
Pembobotan
|
terowongan
|
0
|
-2
|
-5
|
-10
|
-12
|
pondasi
|
0
|
-2
|
-7
|
-15
|
-25
|
|
lereng
|
0
|
-5
|
-
25
|
-50
|
-60
|
Tabel 3.9. Kelas massa batuan yang
ditentukan dari pembobotan total(8)
Pembobotan
|
100 - 81
|
80 - 61
|
60 - 41
|
40 - 21
|
< 20
|
No. Kelas
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
Deskripsi
|
sangat baik
|
baik
|
sedang
|
jelek
|
sangat jelek
|
Tabel 3.10. Arti kelas massa batuan(8)
No kelas
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
Stand-up time rata-rata
|
20 tahun untuk span 15m
|
6 bulan untuk span 8m
|
1 minggu untuk span 5m
|
10 jam untuk span 2,5m
|
30 menit untuk span 1m
|
Kohesi
|
> 400
|
300-400
|
200-300
|
100-200
|
< 100
|
Sudut geser dalam
|
> 45
|
35 - 45
|
25 - 35
|
15 - 25
|
< 15
|
Hasil klasifikasi sistem RMR juga dapat merekomendasikan tipe
penyangga dan memperkirakan besarnya modulus elastisitas massa batuan (E) dengan rumus ;
E (massa batuan) = 2 RMR –
100 (GPa)
|
gambar 3.3
Hubungan nilai RMR dengan stand-up Time (8)
Tabel 3. 11.
Petunjuk untuk penggalian dan penyangga terowongan batuan
dengan klasifikasi RMR - sistem(8)
Kelas
|
Penggalian
|
Penyanggaan
|
||
Rock bolt (dia: 20 mm, fully grouted)
|
Shotcrete
|
Steel set
|
||
Batuan sangat baik (kelas I)
RMR 81 – 100
|
Full face dengan kemajuan 3m
|
Umumnya
|
||
Batuan baik (kelas II)
RMR 61 – 80
|
Full face dengan kemajuan 1 – 1,5 m
penyangga 20 m dari face
|
Lokalisasi, bolt pada atap sepanjang3 m adakalanya
dengan wire mesh
|
50 mm di atap
|
Tidak ada
|
Batuan sedang (kelas III)
RMR 41 – 60
|
Top heading dan bench dengan kemajuan 1,5 - 3 m.
Penyangga dimulai setelah peledakan
dan 10 m dari face.
|
Bolt sistematis
panjang 4 m dan spasi 1,5 – 2 m di atap dan di dinding. Pada atap
dengan wire mesh.
|
50 – 100 mm di atap dan 30 mm di dinding
|
tidak ada
|
Batuan jelek (kelas IV)
RMR 21 – 40
|
Top heading dan bench dengan kemajuan 1 - 1,5 m di
top heading. Lakukan penyanggaan setiap 10 m dari face
|
Bolt sistematis panjang 4 – 5 m dengan spasi 1 – 1,5
di atap dan di dinding dengan wire mesh
|
100 – 150 mm di atap dan 100 mm di dinding
|
Rib ringan – sedang dengan spasi 1,5 m
|
Batuan sangat jelek
(kelas V)
RMR < 20
|
Multiple drift dengan kamajuan 0,5 – 1,5 m di top heading.
Buat penyangga setiap penggalian. Shootcrete segera dipasang setelah
penggalian
|
bolt sistematis panjang 5 – 6 m dengan spasi 1 – 1,5
m di atap dan di dinding dengan wire mesh. Bolt juga dapat dipasang di lantai
|
150 – 200 mm di atap, 150 mm di dinding dan 50 mm di
face
|
Rib sedang – berat dengan spasi 0,75 dengan stell
lagging dan forepoling
|
3.2.2 Klasifikasi sistem Q
Sistem Q diperkenalkan Barton dan kawan-kawan pada tahun 1974 dengan
memperhitungkan enam parameter untuk menentukan kualitas massa batuan secara numerik yaitu:
1.
Rock quality designation (RQD)
2.
Jumlah pasangan kekar (Jn)
3.
Kekasaran diskontinuitas paling
buruk (Jr)
4.
Tingkat alterasi atau pengisian
rekah (Ja)
5.
Aliran air tanah(Jw)
6.
Kondisi tegangan (SRF)
3.2.2.1 Pembobotan sistem Q
Bobot masing-masing parameter tercantum pada tabel 3.12. Keenam
parameter dibagi menjadi tiga komponen untuk memperoleh nilai kualitas massa batuan (Q) yaitu:
Q = *
Kolom pertama (RQD/Jn) menunjukkan ukuran relatif dari
blok, kolom kedua (Jr/Ja) di nyatakan sebagai
indikator kuat geser inter–blok, sedangkan kolom terakhir (Jw/SRF)
menggambarkan tegangan aktif.
Nilai Q dihubungkan dengan kebutuhan penyangga terowongan dengan
menetapkan dimensi ekivalen dari galian. Dimensi ekivalen merupakan fungsi dari
ukuran dan kegunaan dari galian didapat dengan membagi span, diameter atau
tinggi dinding galian dengan harga yang disebut Excavation Support Ratio (ESR).
Span maksimum yang dapat tidak disangga diperoleh dengan persamaan
berikut :
Span maksimum (unsupported) =
2 (ESR) Q0,4
Hubungan antara nilai Q dan
tekanan penyangga permanent (Proof) adalah:
Proof = Jn ½ Q1/3
Pwall = Jn ½ Qw1/3
Menurut Rule Of Thumb Benson
(1971), panjang baut batuan dan anchor pada kondisi in-situ adalah :
Pada atap,
panjang bolt = 2 + 0.15
anchor = 0.40
pada dinding,
panjang bolt = 2 + 0.15
anchor = 0.35
Wall factor dipengaruhi oleh harga nilai Q yang diperoleh
untuk harga Q > 10, maka wall factor (Qw) adalah 5 Q
untuk harga 0.1 < Q < 10, maka harga Qw adalah 2.5
Q
untuk harga Q < 0.1, maka harga Qw adalah 1.0 Q
3.2.2.2 Penentuan klasifikasi Q – system
Cara penentuan klasifikasi Q – system :
1.
Klasifikasikan kualitas massa batuan melalui peta
topografi, core bor anality atau trial
adit. Klasifikasi ditujukan untuk menentukan pemerian nilai RQD, jumlah
pasangan kekar (Jn), kekasaran kekar (Jr), alterasi kekar (Ja), aliran air tanah air
tanah (Jw) dan pembebanan tegangan-regangan (Tabel 3.12 – 3.17).
2.
Pilih dimensi optimum
penggalian berupa tujuan penggalian dilakukan yang dinyatakan dengan ESR pada
tabel 3.18.
3.
Tentukan permanent support untuk digunakan pada lubang bukaan sesuai dengan
harga Q yang disesuaikan dengan tabel 3.19; 3.20; 3.21 dan 3.22.
Hubungan antara indeks Q dan dimensi eqivalen dapat menentukan
ukuran penyangga yang sesuai. Barton dan kawan – kawan (1974) menyediakan
kategori penyangga sebanyak 38 buah yang memenuhi syarat untuk penyangga
permanen seperti diberikan oleh tabel 2.19.
Untuk menentukan penyangga sementara, indeks Q ditambah menjadi 5Q
atau ESR ditambah menjadi 1,5 ESR. Sementara panjang baut batuan (L) ditentukan
dengan persamaan : L = 2 + 0,15 B/ ESR
Tabel 3.12. Pembobotan
parameter RQD pada klasifikasi Q – sistem(4)
DESKRIPSI
|
RQD
|
|
A
|
Sangat buruk
|
0 – 25
|
B
|
Buruk
|
25 – 50
|
C
|
Memadai
|
50 – 75
|
D
|
Baik
|
75 – 90
|
E
|
Memuaskan
|
90 - 100
|
Catatan
: i) Dimana RQD dilaporkan atau
diukur dengan < 10 (termasuk 0) sebuah nilai dari 10 digunakan untuk mengevaluasi Q
ii) Interval RQD = 5 cukup teliti, yaitu 100, 95, 90 dan seterusnya
|
Tabel 3.13. Pembobotan
parameter jumlah pasang kekar (Jn) (4)
DESKRIPSI
|
Jn
|
|
A
|
Masif, tidak ada atau
sedikit kekar
|
0,5 – 1
|
B
|
Satu bentuk kekar
|
2
|
C
|
Satu bentuk kekar
ditambah kekar acak
|
3
|
D
|
Dua bentuk kekar
|
4
|
E
|
Dua bentuk kekar
ditambah kekar acak
|
6
|
F
|
Tiga bentuk kekar
|
9
|
G
|
Tiga bentuk kekar
ditambah kekar acak
|
12
|
H
|
Tiga bentuk kekar
ditambah kekar acak
|
15
|
I
|
Empat atau lebih betuk kekar, acak, kekar dengan
berat “kubus
gula” dan lain – lain.
|
20
|
Catatan: i)
untuk perpotongan dipakai (3 * Jn)
ii) untuk portal dipakai (2 *
Jn)
|
Tabel 19 sampai 22 menunjukkan nilai Q dan ukuran penyangga yang
dianjurkan oleh Barton dan kawan – kawan (1974).
Tabel 3.14. Pembobotan
parameter tingkat kekasaran kekar (Jr) (4)
a) Dinding batuan bersentuhan
b) Sentuhan
dinding batuan sebelum menggeser 10 cm
DESKRIPSI
|
Jr
|
|
A
|
Kekar tidak menerus
|
4
|
B
|
Kasar atau tidak
teratur, bergelombang
|
3
|
C
|
Halus, bergelombang
|
2
|
D
|
Licin, bergelombang
|
1,5
|
E
|
Kasar atau tidak
teratur, rata
|
1,5
|
F
|
Halus, rata
|
1,0
|
G
|
Licin dan rata
|
0,5
|
Catatan: i) Desripsi B ke G gambaran untuk skala kecil
dan menengah sebagaimana ditentukan
|
c)
Tidak ada dinding batuan bersentuhan setelah pergeseran
H
|
Tebal zona mineral yang mengandung lempung cukup
untuk menahan sentuhan dinding batuan
|
1,0
|
I
|
Tebal zona pasiran, kerikil atau batuan pecah (remuk)
cukup untuk menahan sentuhan dinding batuan
|
1,0
|
Catatan: ii) Tambahan 1,0 jika bentuk kekar relevan
lebih besar dari 3 m
iii) Jr = 0,5, dapat
digunakan untuk kekar yang licin dan rata yang mempunyai perlapisan, asalkan
perlapisan diorientasikan untuk kekuatan minimum
|
Tabel 3.15. Pembobotan untuk parameter alterasi kekar (Ja) (4)
a)Dinding
batuan bersentuhan
DESKRIPSI
|
Ø
approx
|
Nilai
|
|
A
|
Sangat rapat, keras, tidak ada pelunakan, tidak
dapat ditembus pengisian yaitu: kwarsa dan epidot.
|
-
|
0,78
|
B
|
Diding kekar tidak berubah, permukaan hanya
tercemari
|
25 – 35o
|
1,0
|
C
|
Dinding kekar agak berubah, tidak ada pelunakan,
perlapisan mineral, partikel pasiran, lempung tanpa batuan hancur dan lain -
lain
|
25 – 30o
|
2,0
|
D
|
Perlapisan lempung lanauan atau lempung pasiran,
fraksi lempung kecil (tidak ada pelunakan)
|
20 – 25o
|
3,0
|
E
|
Pelunakan atau gesera rendah perlapisan mineral
lempung yaitu kaolinit juga mika dan klorit, talek, gypsum,graphit dan yang
lainnya dan sejumlah lempung yang memuai
|
88 – 16o
|
4.-,0
|
b) Sentuhan dinding batuan sebelum menggeser 10
cm
F
|
Partikel pasiran,lempung tanpa batuan hancur, dan
lain-lain
|
25 – 30o
|
4,0
|
G
|
Benar–benar terkonsolidasi berlebihan, tidak ada
pelunakan, mineral pengisi (menerus dengan ketebalan < 5 mm)
|
16 – 24o
|
8,0
|
H
|
Konsolidasi berlebihan sedang – rendah, pelunakan,
pengisi mineral lempung (menerus dengan ketebalan < 5 mm)
|
12 – 16o
|
8,0
|
J
|
Pengisi lempung yang memuai yaitu: montmorilonit
(menerus dengan ketebalan < 5 mm). Nilai Ja tergantung pada persentase
partikel lempung yang memuai dan keberadaan air
|
66 – 12o
|
8 - 12
|
K
|
Zona – zona lempung atau bataun hancur (lihat G, H,
J untuk pemerian kondisi lempung)
|
66 – 24o
|
6, 8 ,
8 - 12
|
L
|
Zona –zona lempung lanauan atau lempung pasirann fraksi
lempung kecil (tidak ada pelunakan)
|
|
5,0
|
M
|
Tebal, zona – zona lempung menerus ( lihat G, H, J
untuk pemerian kondisi lempung)
|
|
10, 13,
13 - 20
|
Tabel 3.16.
Pembobotan aliran air tanah(4)
DESKRIPSI
|
approx tek.air
(Kg/cm2)
|
Jw
|
|
A
|
Lubang bukaan kering atau aliran air kecil (<
5L/menit)
|
< 1,0
|
1,0
|
B
|
Aliran air kecil ( < 5 L/men), terjadi pencucian
pengisi kekar
|
1,0 – 2,5
|
0,66
|
C
|
Aliran dan tekanan air besar batuan batuan kompeten
yang kekarnya tidak terisi material
|
2,5 – 10
|
0,5
|
D
|
Aliran dan tekanan air besar, kemungkinan mencuci
material pengisi kekar
|
2,5 – 10
|
0,33
|
E
|
Dengan pengecualian pemasukan dan tekanan air sangat
tinggi, pada peledakan kerusakan sejalan dengan waktu
|
> 10
|
0,1–0,2
|
F
|
Pengecualian pemasukan dan tekanan air sangat
tinggi, terus menerus tanpa kerusakan yang menyolok
|
> 10
|
0,05-0,1
|
Catatan: i)
Faktor – faktor C sampai F adalah estimasi kasar. Tambahan Jw, jika dipasang
alat pengukur drainase.
ii) Masalah khusus yang disebabkan deformasi tidak dipertimbangkan
|
Tabel 3.17.
Pembobotan faktor reduksi tegangan(4)
a) Penggalian memotong
zona bidang lemah yang dapat menghasilkan daerah runtuhan apabila terowongan
selesai digali
DESKRIPSI
|
SRF
|
|
A
|
Banyak bidang
lemah yang mengandung lempung dan batuan terlapukkan, batuan disekitarnya
sangat lepas (berbagai kedalaman)
|
10,0
|
B
|
Terdapat bidang
lemah tunggal yang mengandung lempung dan batuan terlapukkan (kedalaman
penggalian ≤ 50 m)
|
5,0
|
C
|
Terdapat bidang
lemah tunggal terdiri dari lempung dan batuan terlapukkan (kedalaman
penggalian < 50 m)
|
2,5
|
D
|
Multi zona geser
pada batuan kompeten (bebas lempung) daerah batuan lepas pada sembarang
kedalaman penggalian.
|
7,5
|
E
|
Zona geser
tunggal pada batuan kompeten (bebas lempung, kedalaman penggalian ≤ 50 m)
|
5,5
|
F
|
Zona geser
tunggal pada batuan kompeten (bebas lempung, kedalaman penggalian > 50 m)
|
2,5
|
G
|
Lepas, kekar
terbuka berbentuk “kubus gula” (pada sembarang kedalaman)
|
5,0
|
Catatan: i) Kurangi nilai – nilai SRF ini dengan 25
– 50% jika zona geseran relevan hanya berpengaruh tetapi tidak memotong
penggalian
|
b) Batuan
kompeten, masalah tegangan batuan
DESKRIPSI
|
σc/σ1
|
σt/σ1
|
SRF
|
|
H
|
Tegangan rendah, dekat permukaan, kekar terbuka
|
> 200
|
< 0,01
|
2,5
|
J
|
Tegangan medium, keadaan tegangan mendukung
|
10 - 200
|
0,01 - 3
|
1
|
K
|
Tegangan tinggi, struktur sangat padat. Biasanya
mendukung stabilitas tetapi kurang mendukung untuk stabilitas dinding
|
5 - 10
|
0,3 – 0,6
|
0,5 - 2
|
L
|
Hancuran batuan sedang (batuan massive)
|
2,5 - 5
|
0,16 - 0,3
|
5 - 10
|
M
|
Hancuran batuan tinggi (batuan massive)
|
< 2,5
|
< 0,16
|
10 - 20
|
Catatan: ii) Untuk tegangan murni anisotropic
lapangan yang sangat kuat(jika diukur): apabila 5 ≤ σ1/σ3 ≤ 10, kurangi
σc sampai 0,8 σc dan σt sampai0,8 σt . Apabila σ1/σ3 >
10 kurangi σc dan menjadi 0,6σc
dan σt menjadi
0,6σt. dimana σc. kuat
tekan bebas, σ1 dan
σ3 adalah
tegangan utama, σt adalah
kuat tarik.
iii) Beberapa catatan kasus
adalah dimana kedalaman crown dibawah permukaan kurang dari panjang bentang.
Diperkirakan SRF naik dari 2,5 menjadi5 untuk kasus seperti itu (lihat H)
|
c)Batuan sisipan, aliran plastis dari dua
batuan tidak kompeten dibawah tingginya
tekanan batuan
N
|
Tekanan batuan
sisipan sedang
|
5 – 10
|
O
|
tekanan batuan
sisipan tinggi
|
10 - 20
|
d) Batuan
memuai, aktivitas pemuaian tergantung pada air
P
|
Tekanan batuan
memuai sedang
|
5 – 10
|
R
|
Tekanan batuan
memuai tinggi
|
10 - 15
|
Tabel 3.18.
Harga ESR untuk berbagai lubang bukaan(4)
KATEGORI
LUBANG BUKAAN
|
ESR
|
|
A
|
Terowongan tambang temporer (< 10 tahun)
|
2
|
B
|
Sumuran vertikal:
Bentuk lingkaran
Bentuk empat persegi
|
2,5
2,0
|
C
|
Untuk tambang permanen, saluran air pembangkit
tenaga, drift dan heading pada penggalian yang besar
|
1,6
|
D
|
Storage cavern, saluran air, jalan raya kedua dan
acces tunnel
|
1,3
|
E
|
Stasiun pembangkit, jalan raya utama (rail road),
portal
|
1,0
|
F
|
Stasiun nuklir bawah tanah, stasiunrail road,
factories
|
0,8
|
·
a Sesuai aturan
Barton (1974)
·
b pendekatan
·
c estimasi
penyanggaan oleh Barton dan kawan-kawan.
·
d lihat catatan
12 di catatan tambahan
·
e lihat catatan
13 di catatan tambahan
·
tipe penyangga yang digunakan
pada kategori 1 – 8 dipengaruhi oleh tehnik peledakan.sb = spot bolting, B
= sistematik bolting, utg = tidak
ditegangkan, tg = ditegangkan, S =
shotcrete, mr = bertulang jaring baja,
clm = chain – link mesh, CCA = cast concrete arch, sr = bertulang baja.
Catatan tambahan untuk kategori penyangga:
1.
Untuk kasus batuan yang sangat
hancur atau “ popping”, baut yang
ditegangkan dengan alas flat sering digunakan dengan spasi 1 m. Penyanggaan
akhir dipasang saat aktivitas “popping” mulai terjadi.
2.
Beberapa panjang baut yang
sering digunakan pada penggalian yang sama yaitu: 3, 5 dan 7 m.
3.
Beberapa panjang baut yang
sering digunakan pada penggalian yang sama yaitu: 2, 3 dan 4.
4.
Kabel anchor tertegangkan sering digunakan untuk menunjang tekanan baut
dengan spasi 2 – 4 m.
5.
Beberapa baut digunakan untuk
penggalian yang sama yaitu: 6, 8 dan 10 m.
6.
Kabel anchor tertegangkan sering digunakan untuk mendukung tekanan
penyangga baut batuan dengan spasi 4 – 6 m.
7.
Pada pemakaian sebelumnya,
untuk stasiun pembangkit tenaga pemakaian sistematik dan spot bolting dengan chainlink mesh dan free-span roof concrete(25
– 40 cm) digunakan sebagai penyangga permanen.
8.
Untuk kasus Swelling seperti monmorilonite clay.
Pada swelling kuat, ruang
pengembangan material harus diperkirakan diantara penyangga.
9.
Kasus ini tidak mengandung
swelling clay atau batuan sisipan.
10.
Kasus ini mengandung batuan
sisipan. Untuk penyangga permanen dipakai material kuat dan kaku.
11.
Catatan Barton, untuk kasus
swelling dan squeezing, penyangga temporer perlu dipasang sebelum pemasangan
concrete atau shotcrete. Bila harga RQD/Jn > 1.5, digunakan bolting atau
dikombinasikan dengan shotcrete.
Tetapi bila harga RQD/Jn < 1,5 maka sistemais bolting perlu ditambahkan
setelah concrete arching untuk
mengurangi tingginya pembebanan batuan. Bila swelling clay dan squeezing
sangat berat pemasangan temporary support di face harus segera dilakukan.
12.
Dengan pertimbangan faktor
keamanan, multiple drift sering digunakan selama penggalian dan penyanggaan di
roof arch kategori 16, 20, 24, 28, 32, 35 (hanya untuk span/ESR > 15 m).
13.
Dengan pertimbangan faktor keamanan,
multiple drift sering digunakan selama penggalian dan penyanggaan arching,
dinding dan lantai untuk squeezing kuat. Kategori penyangga no 38 (hanya untuk
span/ ESR > 10 m)